Kamis, 15 Januari 2015

Jangan Takut (Sammy Simorangkir)

Jangan Takut
(Sammy Simorangkir)


Selalu engkau bertanya, apa kau di hatiku
Mudah aku menjawab, kau takkan mengerti
Selalu engkau bertanya, besarnya rasa cintaku
Sudah aku buktikan dengan cara yang kau mau

Takkan berubah lagi, percayalah padaku kini

Jangan takut akan cintaku, semua ini hanya untukmu
Akan ku jaga rasa yang ada, meski harus korbankan jiwa
Jangan takut akan cintaku, takkan berubah sedikitpun
Akan ku jaga rasa yang ada, meski harus korbankan jiwa

Andai engkau bertanya, apa kita bisa oh
Bertahan selamanya, itu yang aku mau
Takkan berubah lagi, percayalah padaku kini
Jangan takut akan cintaku, semua ini hanya untukmu
Akan ku jaga rasa yang ada, meski harus korbankan jiwa

Jangan takut akan cintaku, takkan berubah sedikitpun
Akan ku jaga rasa yang ada, meski harus korbankan jiwa
Jangan takut (cintaku untukmu)
Jangan takut (cintaku untukmu) ooh

Jangan takut akan cintaku, semua ini hanya untukmu
Akan ku jaga rasa yang ada, meski harus korbankan jiwa
Jangan takut akan cintaku, takkan berubah sedikitpun
Akan ku jaga rasa yang ada, meski harus korbankan jiwa
Ooh meski harus korbankan jiwa ooh

Selasa, 16 September 2014

Santo Antonius De Padua

Hari ini, tanggal 13 Agustus, adalah pesta nama Santo Antonius dari Padua bagi Gereja Katolik. Mengapa harus ada penjelasan “dari Padua”? Karena ada beberapa Santo yang bernama Antonius, walaupun memang yang paling terkenal adalah Antonius Padua.
Antonius dari Padua, disebut demikian, karena beliau wafat di kota Padua Italia pada tanggal 13 Juni 1231 dalam usia 36 tahun. Nama aslinya adalah Fernando dan dilahirkan di Lisbon, Portugal pada tahun 1195. Nama Antonius adalah nama yang dipakai Fernando setelah bergabung dengan ordo Fransiskus Asisi (OFM). Dengan nama inilah beliau berkeliling Italia dan Sisilia memberikan khotbah, mempertobatkan banyak orang, dan membuat mukjizat.

Antonius Padua adalah nama baptis saya. Gereja Katolik sebetulnya memiliki tuntunan dalam memilih nama baptis. Setiap orang kudus memiliki tanggal peringatan nama yang sama dengan  tanggal wafatnya. Tetapi banyak orang memilih nama baptis tidak sesuai dengan tanggal kelahiran atau tanggal baptisnya. Hal ini tentu berhubungan dengan kesukaan pada orang kudus yang menjadi idolanya. Seharusnya nama baptis saya adalah Yustinus karena saya lahir pada tanggal 1 Juni. tetapi ibu saya rupanya mengidolakan Antonius Padua, sehingga memberikan nama ini pada saat saya dibaptis. Sewaktu belum menikah, ibu bekerja di kota Yogyakarta dan setiap Minggu mengikuti misa di gereja Santo Antonius, Kotabaru.
Nama Antonius (dari Padua) memang cukup disenangi oleh umat Katolik. Di komplek tempat tinggal saya ada beberapa nama Antonius. Bahkan nama wilayah tempat saya tinggal adalah wilayah Santo Antonius. Saya sendiri senang dengan nama ini. Dengan nama yang dimulai huruf A, saya tentu berada di urutan depan dalam absensi. Tetapi yang lebih penting adalah bahwa saya terpacu untuk bisa meneladan hidup dan semangat Santo Antonius dalam mewartakan cinta kasih Tuhan.
Selamat merayakan hari peringatan Santo Antonius Padua…

Selasa, 09 September 2014

Sudahi Semua Ini

Sedih hatiku bila ku ingat saat itu
Kau pergi tinggalkan diriku semaumu
Tak ada bedanya dirimu dan dirinya
Campakkan aku, kau buang aku, tak peduli perasaanku

Sudahi semua ini, tak perlu ditangisi lagi, kini ku harus mengerti
Terlambat untuk kau sadari, semua ini sudah terjadi
Kau telah hancurkan cinta dan harapan di hati
Apa salahku, ku tak pernah dicintai

Aku memang tak sempurna tapi ku mau bertahan untukmu
Kau takkan mengerti hati yang telah terluka
Campakkan aku, kau buang aku, tak peduli perasaanku

Sudahi semua ini, tak perlu ditangisi lagi, kini ku harus mengerti
Terlambat untuk kau sadari, semua ini sudah terjadi
Kau telah hancurkan cinta , kau telah hancurkan harapan di hati

By: Sammy Simorangkir

Kamis, 28 Agustus 2014

Kau Harus Bahagia

Aku sadari mungkin ini suratan takdirku
Kau dan aku tak mungkin bersatu
Walau hati trus menangis

Tak ku sesali semua kisah yang telah terjadi
Ku biarkan waktu menemani
Hati yang dirundung sepi

Maafkan kejujuran ku walau menyakitkan
Dan mungkin takkan bisa
Ku lupakan hingga akhir nanti
Ku lepaskan cinta ini
Ku rela berkorban
Tak mengapa namun kau harus bahagia Tak ku sesali semua kisah yang telah terjadi
Ku biarkan waktu menemani
Hati yang dirundung sepi
Maafkan ku kejujuran ku walau menyakitkan
Dan mungkin takkan bisa
Ku lupakan hingga akhir nanti
Ku ku lepaskan cinta ini
Ku rela berkorban
Tak mengapa namun kau harus bahagia
Dan mungkin takkan bisa
Ku lupakan hingga akhir nanti
Ku lepaskan cinta ini
Ku rela berkorban
Tak mengapa namun kau harus bahagia

Tak kan bisa ku lupakan
Hingga akhir nanti
Ku lepaskan cinta ini
Ku rela berkorban
Tak mengapa namun kau harus bahagia
Tak mengapa namun kau harus bahagia

Minggu, 24 Agustus 2014

Sebentuk Hati Buat Kekasih

Bila kau bukanlah cinta sejati 

Mungkin aku takkan pernah mengerti 

Hati yang tulus setia yang indah 

Dan semua yang terjadi antara kita


Maaf untuk semua cara yang salah 

Itu hanya ku ingin membuktikan 

Tiada yang lain dalam hidupku 

Sungguh tak ada maksud untuk menyakitimu


Sebentuk hatiku buat kekasihku 

Mengiring rinduku yang selalu untuknya 

Memang tak selalu ada yang terbaik 

Dari diri ini dan juga dirinya 

namun ku yakin cinta ini tak kan pernah salah

Jumat, 15 Agustus 2014

Mengapa Gereja Roma Katolik tidak menahbiskan wanita menja di imam?


Gereja, terlebih gereja Roma Katolik- setiap zaman harus menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi. Seratus tahun lalu derajat kaum wanita dianggap lebih rendah dalam gereja, seperti juga dalam masyarakat.
Kaum wanita tidak boleh menerima komuni pada saat datangnya bulan, setelah melahirkan anak wanita hams dimurnikan kembali sebelum boleh memasuki gereja. (*)
Kaum wanita dilarang menyentuh barang-barang yang digunakan dalam liturgi, seperti kaliks, patena, atau kainnya, (*) terlebih mereka tidak boleh membagi-bagi komuni (*) dan di dalam gereja kepala harus mereka tutup (*), wanita juga dilarang untuk:

-- memasuki bagian depan gereja di mana altar berada, kecuali untuk membersihkannya (*)
-- membaca kitab Suci waktu misa (*)
-- berkhotbah (*)
-- menjadi anggota koor gereja
-- melayani misa (*)
-- menjadi anggota penuh gerakan-gerakan atau organisasi dalam paroki (*)
tetapi lebih penting lagi: kaum wanita ditolak untuk ditahbiskan menjadi imam.(*)
  Background music?
Larangan berbintang masih berlaku dalam Hukum Kanonik Gereja, terbitan 1917 sampai tahun 1983.

     

Zaman sekarang kita lebih menyadari hak-hak azasi manusia, kesederajatan pria dan wanita dan kebutuhan untuk menciptakan kesempatan yang sama bagi semua.
Hal ini juga mempengaruhi sikap terhadap wanita di dalam gereja. Sekarang (untuk sementara waktu) wanita boleh melayani misa, membaca, menyanyi, berkhotbah, memimpin ibadat, menerimakan sakramen Pembaptisan dan membagi-bagikan Komuni.
Tetapi larangan untuk ditahbiskan menjadi imam tetap berlaku.
  Beberapa perbaikan termuat dalam Hukum Kanonik (1983).

     

Kenapa?    

     

Kaum teolog konservatif, didukung oleh Kongregasi Ajaran Iman di Roma mengakui bahwa pembatasanpembatasan yang lain, yang dikenakan pada kaum wanita, disebabkan oleh prasangka-prasangka.
Namun mereka menyatakan, bahwa larangan untuk pentahbisan wanita termasuk ajaran gereja yang tidak dapat dirobah. "Yesus Kristus sendiri yang mengekecualikan wanita dari jabatan imamat tertahbis, dan gereja senantiasa mengikuti contoh Yesus dengan tidak pernah menahbiskan wanita".
  Bacalah argumentasi Roma dalam ringkasan ini.

     

Tidak dapat dipungkiri, bahwa hal ini merupakan suatu masalah yang penting. Kalau pemimpinpemimpin di Vatikan keliru - dan saya yakin akan hal ¡ni bersama sebagian terbesar teolog katolik maka gereja sangat dirugikan dengan menyetop perkembangan pastoral yang berpengaruh besar ini.   Para teolog wajib mengutarakan keberatan-keberatan sejelasnya.

     

Barangkali banyak orang berpikir bahwa semuanya ini merupakan soal `kesamaan hak', soal emansipasi wanita, tetapi bukan itulah masalah yang sebenarnya.
Selalu alasan yang menentukan bagi kita sebagai orang katolik adalah: tekad untuk selalu setia kepada apa yang dimaksudkan Kristus serta mengerti arti tradisi.
Pertanyaan menahbiskan wanita atau tidak, tidak boleh ditentukan oleh tekanan sosial. Masalah ini hanya dapat diselesaikan dengan mempelajari sumber-stunbernya. Apakah Yesus sendiri mengecualikan wanita? Mengapa dulu wanita tidak ditahbiskan? Apakah ada alasan teologis yang sah untuk menolak wanita menjadi imam?
Inilah alasan-alasan yang menentukan.
  Di lain pihak kita menghadapi diskriminasi wanita yang sungguh-sungguh, jika penolakan wanita tidak sesuai dengan maksud Kristus melainkan berdasarkan prasangka gereja . . . !

     

Walaupun saya menghargai teman-teman teolog yang feminis, namun saya sendiri bukan feminis.   Lihat saja asal-usul penyelidikan saya.

     

Apa pikiran Yesus sendiri?    

     

May we blame Jesus  .  .   .  ?Dalam Injil tampak jelas, bahwa untuk Yesus pria dan wanita sama derajatnya. Kedua-duanya memasuki Kerajaan Allah melalui permandian, sedangkan dalam Perjanjian Lama hanya laki-laki yang disunat.
Mengapa Yesus hanya memilih laki-laki untuk menjadi ke-12 rasulNya? Agaknya dengan alasan praktis, sebagaimana Ia juga hanya memilih lakilaki Yahudi.
Kelirulah untuk menyimpulkan bahwa Ia telah menetapkan suatu norma yang akan berlaku untuk selama-lamanya. Sebagaimana dalam banyak hal lainnya, Yesus menyerahkan pemerincian pelaksanaan sakramen-sakramen kepada gereja di kemudian hari.
  Kitab Suci tidak mengambil keputusan tentang pentahbisan wanita.

     

Beberapa bagian dalam surat-surat Paulus tidak boleh dipegang sebagai alasan untuk menolak wanita menjadi imam, seperti: wanita hams tutup kepala, harus tunduk kepada suaminya dan tutup mulut di dalam gereja.   Kita tidak boleh menafsirkan teks-teks Kitab Suci dengan menyimpang dari apa yang dimaksudkan penulis yang diilhamkan .

     

Selama abad-abad pertama sesudah Kristus jabatan jabatan bertanggungjawab dipercayakan kepada wanita, antara lain diakonat.
Sumber-sumber sejarah menunjukkan, bahwa wanita dalam gereja Katolik bagian timur berlaku sebagai diakon sampai akhir abad ke-9. Mengingat mereka dijadikan diakon oleh pentahbisan sakramentil penuh, sama dengan diakon laki-laki yang ditahbiskan, maka jelaslah bahwa pada kenyataannya wanita sudah ditahbiskan.
Hal ini mengandung kemungkinan pentahbisan imamat, karena ketiga derajat (diakonat, imamat dan jabatan sebagai uskup) menjadi bagian sakramen imamat yang sama.
  ‘Diakon wanita’ yang terlupakan membuktikan kemungkinan pentahbisan wanita menjadi imam.

     

Mengapa Gereja tidak menahbiskan wanita menja di imam?    

     

Selama berabad-abad ada tiga prasangka yang menghalangi pentahbisan wanita:    

Did the Fathers know everything  .  .  .  ?1. Wanita dianggap makhluk yang lebih rendah. Filsafat Yimani mengatakan, bahwa setiap wanita adalah rnanusia yang tidak lengkap! Hukum Romawi yang juga menjadi ukuran dalam gereja, menolak wanita untuk mengemban setiap tanggungjawab publik.
Jika setiap orang berpikir demikian, bagaimana mungkin mempercayakan fungsi kepemimpinan imamat kepada wanita?
  Wanita dianggap kurang dibanding laki-laki..

2. Wanita dianggap berada dalam keadaan hukuman, oleh karena bagiannya dalam kedosaan. Wanita dicap bertanggungjawab atas kejatuhan dalam dosa dan dosa asal. Wanita dianggap menjadi godaan tetap untuk berdosa.
Bagaimana mungkin makhluk berdosa seperti itu menjadi pengantara rahmat Allah?
  Orang berpikir bahwa Tuhan telah menaklukkan wanita kepada pria, sebagai hukuman atas dosanya.

3. Wanita dianggap najis oleh pendarahan bulanan.
Bagaimana mungkin wanita diizinkan untuk menajiskan kekudusan gedung gereja, bagian sekitar altar dan peralatan Ekaristie?
  Menstruasi membawa kenajisan menurut pendapat umum.

     

Perhatikanlah: Walaupun prasangka-prasangka ini pada hakekatnya bersifat sosial-budaya, namun dijadikan prasangka teologis dan alasan sungguh-sungguh mengapa wanita ditolak untuk jabatan imamat, sebagaimana menjadi jelas dalam tulisan Bapak-Bapak Gereja, konsili-konsili lokal, pemimpin-pemimpin gerejawi dan teolog-teolog abad-abad pertengahan.  

     

Jelaslah, bahwa apa yang disebut tradisi untuk tidak menahbiskan wanita, menjadi tradisi palsu. Suatu tradisi yang benar dan sah harus berdasarkan alasan yang tepat, sebagaimana dengan jitu dikatakan oleh Santo Siprianus:"Kebiasaan tanpa kebenaran tidak lain daripada kesesatan yang lama." (Surat 74,9)   ‘TRADISI’ hendaknya dibedakan dengan tradisi "manusiawi".

     

Kalau kita mempelajari sejarah gereja, maka kita menemukan suatu tradisi yang `implisit' dan 'dinamis' yang mengandung kemungkinan pentahbisan wanita. Hal ini berarti, bahwa orang katolik dalam lubuk hatinya sudah selalu mengetahui, bahwa pentahbisan wanita tidak melawan kehendak Kristus. Sama seperti orang katolik yang tulen sudah selalu mengetahui bahwa perbudakan adalah salah, walaupun ajaran resmi mengizinkan perbudakan, yang juga dibela oleh sejumlah paus, teolog dan Hukum Gereja.   Tradisi yang benar sering bersifat ‘laten’, artinya tersirat dalam keyakinan-keyakinan lain secara implisit dan tidak disadari.

Tradisi laten terdapat dalam fakta, bahwa pernah beberapa wanita ditahbiskan; dalam fungsi imamat yang diberikan kepada Santa Maria; dalam kenyataan bahwa juga wanita menerimakan sakramen Permandian atas nama Kristus dan menj jadi pej abat dalam sakramen Pernikahan; dalam kesadaran Kristiani yang tak terputus, bahwa pria dan wanita adalah sederajat 'dalam Kristus' walaupun terdapat pendirian dan praktek yang berlawanan.   Hanya sedikit demi sedikit kita menemukan kesadaran Kristiani yang sepenuhnya.

     

Alasan Teologis?    

     

Only men  .  .  .  ?!Ada teolog-teolog di Roma yang mengemukakan, bahwa dalam Ekaristi Kristus hanya dapat diwakili oleh imam laki-laki, oleh karena Yesus sendiri adalah laki-laki. Alasan ini berasal dari abad pertengahan, di mana setiap wanita dianggap sebagai manusia yang tidak lengkap.
Dengan sendirinya diyakini pula, bahwa hanya manusia lengkaplah (laki-laki) yang dapat mewakili Kristus.
Di zaman sekarang alasan tersebut tidak ada dasarnya, karena bertolakbelakang dengan ajaran katolik.
Wanitapun menjadi gambaran Kristus, sebagai anak angkat Allah. Dalam Permandian dan Pernikahan wanita mewakili Kristus sepenuhnya.
Apalagi apa yang diwakili oleh imam dalam perayaan Ekaristi bukanlah jenis kelamin laki-laki atau wanita, melainkan cinta kasih Kristus Yang menyerahkan Diri-Nya.
  Tidak ada alasan yang sah, mengapa seorang wanita tidak dapat memimpin Ekaristi, ‘mewakili Kristus’.

     

Ajaran yang tak dapat sesat?    

     

Is this the end of all discussion  .  .  .  ? Roma menambah kekacauan dengan pernyataan bahwa masalahnya sudah diputuskan secara tak dapat swat, bukan oleh Sri Paus, melainkan oleh kuasa mengajar umum-biasa, menyangkut pelaksanaan bersama kuasa mengajar oleh para uskup se-dunia. Ternyata Roma beranggapan, bahwa semua uskup telah menyatakan pendapatnya secara tak dapat sesat, hanya oleh karma mereka tidak menahbiskan wanita dan tidak mempersoalkan masalah ini.   Uskup-uskup sedunia adakalanya melaksanakan kuasa mengajar secara tak dapat sesat.

     

Namun jelaslah, bahwa syarat-syarat untuk menjalankan kuasa mengajar secara tak dapat sesat tak terpenuhi.
Para uskup wajib mendengarkan Sabda Allah dan memperhatikan 'sensus fidelium'(= apa yang dipercayai orang katolik yang tulen dalam hatinya).
Tambah pula, bahwa para uskup hams mewujudkan kuasa mengaj arnya sebagai satu badan.
Mereka harus menilaikan suatu masalah secara pribadi dan bebas mengutarakan pendapatnya.
Para uskup harus mau menetapkan ajaran secara mengikat.
Semua syarat tersebut tidak terpenuhi.
  Konsili-konsili umum gereja dengan jelas telah menetapkan batas-batas ketidaksesatan.

     

Lalu apa?    

     

Ketegangan dalam gereja berhubung dengan pentahbisan wanita tidak perlu menggelisahkan kita. Krisis dan konflik biasanya mendahului perkembangan dan pertumbuhan. Gereja yang resmi akan menemukan pengertian yang lebih baik, sebagaimana gereja sudah alami dalam banyak hal yang lain. Akan tetapi sampai persoalan dituntaskan, kita tidak boleh menghindari kewajiban kita sebagai orang katolik yang bertanggungawab. Kita harus memperdengarkan pendapat kita -- sebab baru jika dalam gereja katolik wanita juga ditahbiskan, maka maksud Kristus akan diwujudkan sepenuhnya.

Senin, 11 Agustus 2014

Pernikahan Beda Agama dalam Perspektif Berbagai Agama

1. Menurut Agama Islam
Pandangan Agama Islam terhadap perkawinan antar agama, pada prinsipnya tidak memperkenankannya. Dalam Alquran dengan tegas dilarang perkawinan antara orang Islam dengan orang musyrik seperti yang tertulis dalam Al-Quran yang berbunyi :
“Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hati. Dan janganlah kamu menikahkan orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu”. (Al-Baqarah [2]:221)
Larangan perkawinan dalam surat al-Baqarah ayat 221 itu berlaku bagi laki-laki maupun wanita yang beragama Islam untuk menikah dengan orang-orang yang tidak beragama Islam.
2. Menurut Agama Katolik
Gereja Katolik memandang bahwa perkawinan antara seorang beragama Katolik dengan yang bukan agama Katolik bukanlah bentuk perkawinan yang ideal. Soalnya, perkawinan dianggap sebagai sebuah sakramen (sesuatu yang kudus, yang suci). Menurut Hukum Kanon Gereja Katolik, ada sejumlah halangan yang membuat tujuan perkawinan tidak dapat diwujudkan. Misalnya, adanya ikatan nikah (kanon 1085), adanya tekanan/paksaan baik secara fisik, psikis maupun sosial/komunal (kanon 1089 dan 1103), dan juga karena perbedaan gereja (kanon 1124) maupun agama (kanon 1086).
Namun demikian, sebagaimana disebut dalam Hukum Kanonik, perkawinan karena perbedaan agama ini baru dapat dilakukan kalau ada dispensasi dari Ordinaris Wilayah atau Keuskupan (Kanon 1124). Jadi, dalam ketentuan seperti ini, Agama Katolik pada prinsipnya melarang perkawinan antara penganutnya dengan seorang yang bukan Katolik, kecuali dalam hal-hal tertentu Uskup dapat memberikan dispensasi atau pengecualian.
Menurut pandangan Katolik, setiap perkawinan, termasuk perkawinan antar agama (dan salah satunya bukan Katolik), hanya dianggap sah apabila dilakukan di hadapan Uskup, Pastor Paroki, dan Imam. Ini dapat dimaklumi karena agama Katolik memandang perkawinan sebagai sebuah sakramen. Sehingga kalau ada perkawinan antar agama (dan salah satu pihak adalah Katolik), dan tidak dilakukan menurut agama Katolik, maka perkawinan itu dianggap belum sah.
3. Menurut Agama Kristen
Pada umumnya pernikahan beda agama tidak dikehendaki di dalam Perjanjian Lama (PL). Alasannya adalah kekuatiran bahwa kepercayaan kepada Allah Israel akan dipengaruhi ibadah asing dari pasangan yang tidak seiman (Ezr. 9-10; Neh. 13:23-29; Mal. 2:10).
Larangan yang eksplisit terdapat dalam Ul. 7:3-4, “Janganlah juga engkau kawin-mengawin dengan mereka: anakmu perempuan janganlah kauberikan kepada anak laki-laki mereka, ataupun anak perempuan mereka jangan kauambil bagi anakmu laki-laki; sebab mereka akan membuat anakmu laki-laki menyimpang dari pada-Ku, sehingga mereka beribadah kepada allah lain. Maka murka TUHAN akan bangkit terhadap kamu dan Ia akan memunahkan engkau dengan segera.”
Gereja Kristen Indonesia (GKI) menerima dan dapat melaksanakan pernikahan beda agama dengan syarat, jika salah seorang calon mempelai bukan anggota gereja, ia harus bersedia menyatakan secara tertulis dengan menggunakan formulir yang ditetapkan oleh Majelis Sinode bahwa:
    • Ia setuju pernikahannya hanya diteguhkan dan diberkati secara Kristiani.

    • Ia tidak akan menghambat atau menghalangi suami/isterinya untuk tetap hidup dan beribadat menurut iman Kristiani.

    • Ia tidak akan menghambat atau menghalangi anak-anak mereka untuk dibaptis dan dididik secara Kristiani. (Tata Laksana GKI Pasal 29:9.b)
4. Menurut Agama Hindu
Dalam agama Hindu di Bali istilah perkawinan biasa disebut Pawiwahan. Wiwaha atau perkawinan dalam masyarakat hindu memiliki kedudukan dan arti yang sangat penting, dalam catur asrama wiwaha termasuk ke dalam Grenhastha Asrama. Disamping itu dalam agama Hindu, wiwaha dipandang sebagai sesuatu yang maha mulia, seperti dijelaskan dalam kitab Manawa Dharmasastra bahwa wiwaha tersebut bersifat sakral yang hukumnya wajib.
Adapun syarat-syarat wiwaha dalam agama Hindu adalah
    • Perkawinan dikatakan sah apabila dilakukan menurut ketentuan hukum Hindu.

    • Pengesahan perkawinan harus dilakukan oleh pendeta/rohaniawan atau pejabat agama yang memenuhi syarat untuk melakukan perbuatan itu.

    • Suatu perkawinan dikatakan sah apabila kedua calon mempelai telah menganut agama hindu.

    • Berdasarkan tradisi yang berlaku di Bali, perkawinan dikatakan sah setelah melaksanakan upacara byakala/biakaonan sebagai rangkaian upacara wiwaha.
4. Menurut Agama Budha
Perkawinan antar agama di mana salah seorang calon mempelai tidak beragama Budha, menurut keputusan Sangha Agung Indonesia diperbolehkan, asal pengesahan perkawinannya dilakukan menurut cara agama Budha. Dalam hal ini calon mempelai yang tidak bergama Budha, tidak diharuskan untuk masuk agama Budha terlebih dahulu. Akan tetapi dalam upacara ritual perkawinan, kedua mempelai diwajibkan mengucapkan “atas nama Sang Budha, Dharma dan Sangka”.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa agama Budha tidak melarang umatnya untuk melakukan perkawinan dengan penganut agama lain. Akan tetapi untuk penganut agama lainnya maka harus dilakukan menurut agama Budha. Kewajiban untuk mengucapkan atas nama Sang Budha, Dharma dan Sangka, ini secara tidak langsung berarti bahwa calon mempelai yang tidak beragama Budha menjadi penganut agama Budha, walaupun sebenarnya ia hanya menundukkan diri pada kaidah agama Budha pada saat perkawinan itu dilangsungkan.
5. Menurut Agama Khonghucu
Dalam ajaran agama Khonghucu perkawinan adalah, ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga yang bahagia), dan melangsungkan keturunan berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa. Tujuan perkawinan dalam agama Konghucu di Indonesia ialah memungkinkan manusia melangsungkan sejarahnya dan mengembangkan benih-benih Thian (Tuhan Yang Maha Esa), berwujud kebajikan yang bersemayam di dalam dirinya, dan memungkinkan manusia membimbing putra-putrinya.
Adapun syarat-syarat perkawinan bagi umat Konghucu yang terkait masalah beda agama:
    • Ada persetujuan dari kedua mempelai tanpa ada unsur paksaan.

    • Kedua calon mempelai wajib melaksanakan pengakuan iman. Peneguhannya dilaksanakan di tempat ibadah umat Konghucu (Lithang).

    • Mendapat persetujuan dari kedua orang tua, baik orang tua pihak laki-laki maupun pihak perempuan atau walinya.

    • Disaksikan oleh dua orang saksi.
Pernikahan Beda Agama menurut Undang-undang
Lalu bagaimana hukum pernikahan beda agama menurut undang-undang perkawinan yang berlaku di Indonesia? Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang dalam pasal 1 berbunyi: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seseorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Selanjutnya dalam pasal 2 ayat 1 dinyatakan: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu”.
Dalam penjelasan atas pasal 1 disebutkan : “Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.
Nah, terlalu banyak kendala dan rintangan untuk melangsungkan pernikahan beda agama. Pada prinsipnya semua agama tidak mengijinkan pernikahan dua insan yang berbeda agama. Bukan hanya dari segi hukum agama itu sendiri, tapi juga mempertimbangkan tujuan pernikahan pernikahan itu sendiri, yang menyatukan dua insan yang berbeda untuk membina bahtera rumah tangga bersama. Dalam membina rumah tangga, akan terjalin hubungan untuk melahirkan keturunan, memelihara, membesarkan dan mendidik anak, serta terkandung pula hak dan kewajiban orang tua.
Cinta memang terlalu indah untuk dikatakan. Tapi keharmonisan rumah tangga dan keutuhan keluarga besar kedua mempelai jauh lebih penting untuk menjadi pertimbangan dalam membina rumah tangga.