Jumat, 15 Agustus 2014

Mengapa Gereja Roma Katolik tidak menahbiskan wanita menja di imam?


Gereja, terlebih gereja Roma Katolik- setiap zaman harus menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi. Seratus tahun lalu derajat kaum wanita dianggap lebih rendah dalam gereja, seperti juga dalam masyarakat.
Kaum wanita tidak boleh menerima komuni pada saat datangnya bulan, setelah melahirkan anak wanita hams dimurnikan kembali sebelum boleh memasuki gereja. (*)
Kaum wanita dilarang menyentuh barang-barang yang digunakan dalam liturgi, seperti kaliks, patena, atau kainnya, (*) terlebih mereka tidak boleh membagi-bagi komuni (*) dan di dalam gereja kepala harus mereka tutup (*), wanita juga dilarang untuk:

-- memasuki bagian depan gereja di mana altar berada, kecuali untuk membersihkannya (*)
-- membaca kitab Suci waktu misa (*)
-- berkhotbah (*)
-- menjadi anggota koor gereja
-- melayani misa (*)
-- menjadi anggota penuh gerakan-gerakan atau organisasi dalam paroki (*)
tetapi lebih penting lagi: kaum wanita ditolak untuk ditahbiskan menjadi imam.(*)
  Background music?
Larangan berbintang masih berlaku dalam Hukum Kanonik Gereja, terbitan 1917 sampai tahun 1983.

     

Zaman sekarang kita lebih menyadari hak-hak azasi manusia, kesederajatan pria dan wanita dan kebutuhan untuk menciptakan kesempatan yang sama bagi semua.
Hal ini juga mempengaruhi sikap terhadap wanita di dalam gereja. Sekarang (untuk sementara waktu) wanita boleh melayani misa, membaca, menyanyi, berkhotbah, memimpin ibadat, menerimakan sakramen Pembaptisan dan membagi-bagikan Komuni.
Tetapi larangan untuk ditahbiskan menjadi imam tetap berlaku.
  Beberapa perbaikan termuat dalam Hukum Kanonik (1983).

     

Kenapa?    

     

Kaum teolog konservatif, didukung oleh Kongregasi Ajaran Iman di Roma mengakui bahwa pembatasanpembatasan yang lain, yang dikenakan pada kaum wanita, disebabkan oleh prasangka-prasangka.
Namun mereka menyatakan, bahwa larangan untuk pentahbisan wanita termasuk ajaran gereja yang tidak dapat dirobah. "Yesus Kristus sendiri yang mengekecualikan wanita dari jabatan imamat tertahbis, dan gereja senantiasa mengikuti contoh Yesus dengan tidak pernah menahbiskan wanita".
  Bacalah argumentasi Roma dalam ringkasan ini.

     

Tidak dapat dipungkiri, bahwa hal ini merupakan suatu masalah yang penting. Kalau pemimpinpemimpin di Vatikan keliru - dan saya yakin akan hal ¡ni bersama sebagian terbesar teolog katolik maka gereja sangat dirugikan dengan menyetop perkembangan pastoral yang berpengaruh besar ini.   Para teolog wajib mengutarakan keberatan-keberatan sejelasnya.

     

Barangkali banyak orang berpikir bahwa semuanya ini merupakan soal `kesamaan hak', soal emansipasi wanita, tetapi bukan itulah masalah yang sebenarnya.
Selalu alasan yang menentukan bagi kita sebagai orang katolik adalah: tekad untuk selalu setia kepada apa yang dimaksudkan Kristus serta mengerti arti tradisi.
Pertanyaan menahbiskan wanita atau tidak, tidak boleh ditentukan oleh tekanan sosial. Masalah ini hanya dapat diselesaikan dengan mempelajari sumber-stunbernya. Apakah Yesus sendiri mengecualikan wanita? Mengapa dulu wanita tidak ditahbiskan? Apakah ada alasan teologis yang sah untuk menolak wanita menjadi imam?
Inilah alasan-alasan yang menentukan.
  Di lain pihak kita menghadapi diskriminasi wanita yang sungguh-sungguh, jika penolakan wanita tidak sesuai dengan maksud Kristus melainkan berdasarkan prasangka gereja . . . !

     

Walaupun saya menghargai teman-teman teolog yang feminis, namun saya sendiri bukan feminis.   Lihat saja asal-usul penyelidikan saya.

     

Apa pikiran Yesus sendiri?    

     

May we blame Jesus  .  .   .  ?Dalam Injil tampak jelas, bahwa untuk Yesus pria dan wanita sama derajatnya. Kedua-duanya memasuki Kerajaan Allah melalui permandian, sedangkan dalam Perjanjian Lama hanya laki-laki yang disunat.
Mengapa Yesus hanya memilih laki-laki untuk menjadi ke-12 rasulNya? Agaknya dengan alasan praktis, sebagaimana Ia juga hanya memilih lakilaki Yahudi.
Kelirulah untuk menyimpulkan bahwa Ia telah menetapkan suatu norma yang akan berlaku untuk selama-lamanya. Sebagaimana dalam banyak hal lainnya, Yesus menyerahkan pemerincian pelaksanaan sakramen-sakramen kepada gereja di kemudian hari.
  Kitab Suci tidak mengambil keputusan tentang pentahbisan wanita.

     

Beberapa bagian dalam surat-surat Paulus tidak boleh dipegang sebagai alasan untuk menolak wanita menjadi imam, seperti: wanita hams tutup kepala, harus tunduk kepada suaminya dan tutup mulut di dalam gereja.   Kita tidak boleh menafsirkan teks-teks Kitab Suci dengan menyimpang dari apa yang dimaksudkan penulis yang diilhamkan .

     

Selama abad-abad pertama sesudah Kristus jabatan jabatan bertanggungjawab dipercayakan kepada wanita, antara lain diakonat.
Sumber-sumber sejarah menunjukkan, bahwa wanita dalam gereja Katolik bagian timur berlaku sebagai diakon sampai akhir abad ke-9. Mengingat mereka dijadikan diakon oleh pentahbisan sakramentil penuh, sama dengan diakon laki-laki yang ditahbiskan, maka jelaslah bahwa pada kenyataannya wanita sudah ditahbiskan.
Hal ini mengandung kemungkinan pentahbisan imamat, karena ketiga derajat (diakonat, imamat dan jabatan sebagai uskup) menjadi bagian sakramen imamat yang sama.
  ‘Diakon wanita’ yang terlupakan membuktikan kemungkinan pentahbisan wanita menjadi imam.

     

Mengapa Gereja tidak menahbiskan wanita menja di imam?    

     

Selama berabad-abad ada tiga prasangka yang menghalangi pentahbisan wanita:    

Did the Fathers know everything  .  .  .  ?1. Wanita dianggap makhluk yang lebih rendah. Filsafat Yimani mengatakan, bahwa setiap wanita adalah rnanusia yang tidak lengkap! Hukum Romawi yang juga menjadi ukuran dalam gereja, menolak wanita untuk mengemban setiap tanggungjawab publik.
Jika setiap orang berpikir demikian, bagaimana mungkin mempercayakan fungsi kepemimpinan imamat kepada wanita?
  Wanita dianggap kurang dibanding laki-laki..

2. Wanita dianggap berada dalam keadaan hukuman, oleh karena bagiannya dalam kedosaan. Wanita dicap bertanggungjawab atas kejatuhan dalam dosa dan dosa asal. Wanita dianggap menjadi godaan tetap untuk berdosa.
Bagaimana mungkin makhluk berdosa seperti itu menjadi pengantara rahmat Allah?
  Orang berpikir bahwa Tuhan telah menaklukkan wanita kepada pria, sebagai hukuman atas dosanya.

3. Wanita dianggap najis oleh pendarahan bulanan.
Bagaimana mungkin wanita diizinkan untuk menajiskan kekudusan gedung gereja, bagian sekitar altar dan peralatan Ekaristie?
  Menstruasi membawa kenajisan menurut pendapat umum.

     

Perhatikanlah: Walaupun prasangka-prasangka ini pada hakekatnya bersifat sosial-budaya, namun dijadikan prasangka teologis dan alasan sungguh-sungguh mengapa wanita ditolak untuk jabatan imamat, sebagaimana menjadi jelas dalam tulisan Bapak-Bapak Gereja, konsili-konsili lokal, pemimpin-pemimpin gerejawi dan teolog-teolog abad-abad pertengahan.  

     

Jelaslah, bahwa apa yang disebut tradisi untuk tidak menahbiskan wanita, menjadi tradisi palsu. Suatu tradisi yang benar dan sah harus berdasarkan alasan yang tepat, sebagaimana dengan jitu dikatakan oleh Santo Siprianus:"Kebiasaan tanpa kebenaran tidak lain daripada kesesatan yang lama." (Surat 74,9)   ‘TRADISI’ hendaknya dibedakan dengan tradisi "manusiawi".

     

Kalau kita mempelajari sejarah gereja, maka kita menemukan suatu tradisi yang `implisit' dan 'dinamis' yang mengandung kemungkinan pentahbisan wanita. Hal ini berarti, bahwa orang katolik dalam lubuk hatinya sudah selalu mengetahui, bahwa pentahbisan wanita tidak melawan kehendak Kristus. Sama seperti orang katolik yang tulen sudah selalu mengetahui bahwa perbudakan adalah salah, walaupun ajaran resmi mengizinkan perbudakan, yang juga dibela oleh sejumlah paus, teolog dan Hukum Gereja.   Tradisi yang benar sering bersifat ‘laten’, artinya tersirat dalam keyakinan-keyakinan lain secara implisit dan tidak disadari.

Tradisi laten terdapat dalam fakta, bahwa pernah beberapa wanita ditahbiskan; dalam fungsi imamat yang diberikan kepada Santa Maria; dalam kenyataan bahwa juga wanita menerimakan sakramen Permandian atas nama Kristus dan menj jadi pej abat dalam sakramen Pernikahan; dalam kesadaran Kristiani yang tak terputus, bahwa pria dan wanita adalah sederajat 'dalam Kristus' walaupun terdapat pendirian dan praktek yang berlawanan.   Hanya sedikit demi sedikit kita menemukan kesadaran Kristiani yang sepenuhnya.

     

Alasan Teologis?    

     

Only men  .  .  .  ?!Ada teolog-teolog di Roma yang mengemukakan, bahwa dalam Ekaristi Kristus hanya dapat diwakili oleh imam laki-laki, oleh karena Yesus sendiri adalah laki-laki. Alasan ini berasal dari abad pertengahan, di mana setiap wanita dianggap sebagai manusia yang tidak lengkap.
Dengan sendirinya diyakini pula, bahwa hanya manusia lengkaplah (laki-laki) yang dapat mewakili Kristus.
Di zaman sekarang alasan tersebut tidak ada dasarnya, karena bertolakbelakang dengan ajaran katolik.
Wanitapun menjadi gambaran Kristus, sebagai anak angkat Allah. Dalam Permandian dan Pernikahan wanita mewakili Kristus sepenuhnya.
Apalagi apa yang diwakili oleh imam dalam perayaan Ekaristi bukanlah jenis kelamin laki-laki atau wanita, melainkan cinta kasih Kristus Yang menyerahkan Diri-Nya.
  Tidak ada alasan yang sah, mengapa seorang wanita tidak dapat memimpin Ekaristi, ‘mewakili Kristus’.

     

Ajaran yang tak dapat sesat?    

     

Is this the end of all discussion  .  .  .  ? Roma menambah kekacauan dengan pernyataan bahwa masalahnya sudah diputuskan secara tak dapat swat, bukan oleh Sri Paus, melainkan oleh kuasa mengajar umum-biasa, menyangkut pelaksanaan bersama kuasa mengajar oleh para uskup se-dunia. Ternyata Roma beranggapan, bahwa semua uskup telah menyatakan pendapatnya secara tak dapat sesat, hanya oleh karma mereka tidak menahbiskan wanita dan tidak mempersoalkan masalah ini.   Uskup-uskup sedunia adakalanya melaksanakan kuasa mengajar secara tak dapat sesat.

     

Namun jelaslah, bahwa syarat-syarat untuk menjalankan kuasa mengajar secara tak dapat sesat tak terpenuhi.
Para uskup wajib mendengarkan Sabda Allah dan memperhatikan 'sensus fidelium'(= apa yang dipercayai orang katolik yang tulen dalam hatinya).
Tambah pula, bahwa para uskup hams mewujudkan kuasa mengaj arnya sebagai satu badan.
Mereka harus menilaikan suatu masalah secara pribadi dan bebas mengutarakan pendapatnya.
Para uskup harus mau menetapkan ajaran secara mengikat.
Semua syarat tersebut tidak terpenuhi.
  Konsili-konsili umum gereja dengan jelas telah menetapkan batas-batas ketidaksesatan.

     

Lalu apa?    

     

Ketegangan dalam gereja berhubung dengan pentahbisan wanita tidak perlu menggelisahkan kita. Krisis dan konflik biasanya mendahului perkembangan dan pertumbuhan. Gereja yang resmi akan menemukan pengertian yang lebih baik, sebagaimana gereja sudah alami dalam banyak hal yang lain. Akan tetapi sampai persoalan dituntaskan, kita tidak boleh menghindari kewajiban kita sebagai orang katolik yang bertanggungawab. Kita harus memperdengarkan pendapat kita -- sebab baru jika dalam gereja katolik wanita juga ditahbiskan, maka maksud Kristus akan diwujudkan sepenuhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar