Senin, 11 Agustus 2014

Pernikahan Beda Agama dalam Perspektif Berbagai Agama

1. Menurut Agama Islam
Pandangan Agama Islam terhadap perkawinan antar agama, pada prinsipnya tidak memperkenankannya. Dalam Alquran dengan tegas dilarang perkawinan antara orang Islam dengan orang musyrik seperti yang tertulis dalam Al-Quran yang berbunyi :
“Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hati. Dan janganlah kamu menikahkan orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu”. (Al-Baqarah [2]:221)
Larangan perkawinan dalam surat al-Baqarah ayat 221 itu berlaku bagi laki-laki maupun wanita yang beragama Islam untuk menikah dengan orang-orang yang tidak beragama Islam.
2. Menurut Agama Katolik
Gereja Katolik memandang bahwa perkawinan antara seorang beragama Katolik dengan yang bukan agama Katolik bukanlah bentuk perkawinan yang ideal. Soalnya, perkawinan dianggap sebagai sebuah sakramen (sesuatu yang kudus, yang suci). Menurut Hukum Kanon Gereja Katolik, ada sejumlah halangan yang membuat tujuan perkawinan tidak dapat diwujudkan. Misalnya, adanya ikatan nikah (kanon 1085), adanya tekanan/paksaan baik secara fisik, psikis maupun sosial/komunal (kanon 1089 dan 1103), dan juga karena perbedaan gereja (kanon 1124) maupun agama (kanon 1086).
Namun demikian, sebagaimana disebut dalam Hukum Kanonik, perkawinan karena perbedaan agama ini baru dapat dilakukan kalau ada dispensasi dari Ordinaris Wilayah atau Keuskupan (Kanon 1124). Jadi, dalam ketentuan seperti ini, Agama Katolik pada prinsipnya melarang perkawinan antara penganutnya dengan seorang yang bukan Katolik, kecuali dalam hal-hal tertentu Uskup dapat memberikan dispensasi atau pengecualian.
Menurut pandangan Katolik, setiap perkawinan, termasuk perkawinan antar agama (dan salah satunya bukan Katolik), hanya dianggap sah apabila dilakukan di hadapan Uskup, Pastor Paroki, dan Imam. Ini dapat dimaklumi karena agama Katolik memandang perkawinan sebagai sebuah sakramen. Sehingga kalau ada perkawinan antar agama (dan salah satu pihak adalah Katolik), dan tidak dilakukan menurut agama Katolik, maka perkawinan itu dianggap belum sah.
3. Menurut Agama Kristen
Pada umumnya pernikahan beda agama tidak dikehendaki di dalam Perjanjian Lama (PL). Alasannya adalah kekuatiran bahwa kepercayaan kepada Allah Israel akan dipengaruhi ibadah asing dari pasangan yang tidak seiman (Ezr. 9-10; Neh. 13:23-29; Mal. 2:10).
Larangan yang eksplisit terdapat dalam Ul. 7:3-4, “Janganlah juga engkau kawin-mengawin dengan mereka: anakmu perempuan janganlah kauberikan kepada anak laki-laki mereka, ataupun anak perempuan mereka jangan kauambil bagi anakmu laki-laki; sebab mereka akan membuat anakmu laki-laki menyimpang dari pada-Ku, sehingga mereka beribadah kepada allah lain. Maka murka TUHAN akan bangkit terhadap kamu dan Ia akan memunahkan engkau dengan segera.”
Gereja Kristen Indonesia (GKI) menerima dan dapat melaksanakan pernikahan beda agama dengan syarat, jika salah seorang calon mempelai bukan anggota gereja, ia harus bersedia menyatakan secara tertulis dengan menggunakan formulir yang ditetapkan oleh Majelis Sinode bahwa:
    • Ia setuju pernikahannya hanya diteguhkan dan diberkati secara Kristiani.

    • Ia tidak akan menghambat atau menghalangi suami/isterinya untuk tetap hidup dan beribadat menurut iman Kristiani.

    • Ia tidak akan menghambat atau menghalangi anak-anak mereka untuk dibaptis dan dididik secara Kristiani. (Tata Laksana GKI Pasal 29:9.b)
4. Menurut Agama Hindu
Dalam agama Hindu di Bali istilah perkawinan biasa disebut Pawiwahan. Wiwaha atau perkawinan dalam masyarakat hindu memiliki kedudukan dan arti yang sangat penting, dalam catur asrama wiwaha termasuk ke dalam Grenhastha Asrama. Disamping itu dalam agama Hindu, wiwaha dipandang sebagai sesuatu yang maha mulia, seperti dijelaskan dalam kitab Manawa Dharmasastra bahwa wiwaha tersebut bersifat sakral yang hukumnya wajib.
Adapun syarat-syarat wiwaha dalam agama Hindu adalah
    • Perkawinan dikatakan sah apabila dilakukan menurut ketentuan hukum Hindu.

    • Pengesahan perkawinan harus dilakukan oleh pendeta/rohaniawan atau pejabat agama yang memenuhi syarat untuk melakukan perbuatan itu.

    • Suatu perkawinan dikatakan sah apabila kedua calon mempelai telah menganut agama hindu.

    • Berdasarkan tradisi yang berlaku di Bali, perkawinan dikatakan sah setelah melaksanakan upacara byakala/biakaonan sebagai rangkaian upacara wiwaha.
4. Menurut Agama Budha
Perkawinan antar agama di mana salah seorang calon mempelai tidak beragama Budha, menurut keputusan Sangha Agung Indonesia diperbolehkan, asal pengesahan perkawinannya dilakukan menurut cara agama Budha. Dalam hal ini calon mempelai yang tidak bergama Budha, tidak diharuskan untuk masuk agama Budha terlebih dahulu. Akan tetapi dalam upacara ritual perkawinan, kedua mempelai diwajibkan mengucapkan “atas nama Sang Budha, Dharma dan Sangka”.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa agama Budha tidak melarang umatnya untuk melakukan perkawinan dengan penganut agama lain. Akan tetapi untuk penganut agama lainnya maka harus dilakukan menurut agama Budha. Kewajiban untuk mengucapkan atas nama Sang Budha, Dharma dan Sangka, ini secara tidak langsung berarti bahwa calon mempelai yang tidak beragama Budha menjadi penganut agama Budha, walaupun sebenarnya ia hanya menundukkan diri pada kaidah agama Budha pada saat perkawinan itu dilangsungkan.
5. Menurut Agama Khonghucu
Dalam ajaran agama Khonghucu perkawinan adalah, ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga yang bahagia), dan melangsungkan keturunan berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa. Tujuan perkawinan dalam agama Konghucu di Indonesia ialah memungkinkan manusia melangsungkan sejarahnya dan mengembangkan benih-benih Thian (Tuhan Yang Maha Esa), berwujud kebajikan yang bersemayam di dalam dirinya, dan memungkinkan manusia membimbing putra-putrinya.
Adapun syarat-syarat perkawinan bagi umat Konghucu yang terkait masalah beda agama:
    • Ada persetujuan dari kedua mempelai tanpa ada unsur paksaan.

    • Kedua calon mempelai wajib melaksanakan pengakuan iman. Peneguhannya dilaksanakan di tempat ibadah umat Konghucu (Lithang).

    • Mendapat persetujuan dari kedua orang tua, baik orang tua pihak laki-laki maupun pihak perempuan atau walinya.

    • Disaksikan oleh dua orang saksi.
Pernikahan Beda Agama menurut Undang-undang
Lalu bagaimana hukum pernikahan beda agama menurut undang-undang perkawinan yang berlaku di Indonesia? Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang dalam pasal 1 berbunyi: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seseorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Selanjutnya dalam pasal 2 ayat 1 dinyatakan: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu”.
Dalam penjelasan atas pasal 1 disebutkan : “Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.
Nah, terlalu banyak kendala dan rintangan untuk melangsungkan pernikahan beda agama. Pada prinsipnya semua agama tidak mengijinkan pernikahan dua insan yang berbeda agama. Bukan hanya dari segi hukum agama itu sendiri, tapi juga mempertimbangkan tujuan pernikahan pernikahan itu sendiri, yang menyatukan dua insan yang berbeda untuk membina bahtera rumah tangga bersama. Dalam membina rumah tangga, akan terjalin hubungan untuk melahirkan keturunan, memelihara, membesarkan dan mendidik anak, serta terkandung pula hak dan kewajiban orang tua.
Cinta memang terlalu indah untuk dikatakan. Tapi keharmonisan rumah tangga dan keutuhan keluarga besar kedua mempelai jauh lebih penting untuk menjadi pertimbangan dalam membina rumah tangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar